INFLASI
Indikator
yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga
Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga
dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket
barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya
Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut
secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap
beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.
Indikator
inflasi lainnya berdasarkan international
best practice antara lain:
1
Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah
harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan
pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas
suatu komoditas. [Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web
site Badan Pusat Statistik www.bps.go.id]
2
Deflator Produk
Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di
dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas
dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
Pengelompokan Inflasi
Inflasi
yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok
pengeluaran (berdasarkan the
Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :
1.
Kelompok Bahan Makanan
2.
Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
3.
Kelompok Perumahan
4.
Kelompok Sandang
5.
Kelompok Kesehatan
6.
Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
7.
Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Disamping
pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan
inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi
inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu
indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat
fundamental.
Di
Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
Inflasi
Inti,
yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam
pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
·
Interaksi permintaan-penawaran
·
Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi
internasional, inflasi mitra dagang
Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan
konsumen
Inflasi
non Inti,
yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi
oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :
a.
Inflasi Komponen
Bergejolak (Volatile Food) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan
seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan
domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.
b.
Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah
(Administered Prices) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga
Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.
Determinan Inflasi
Inflasi
timbul karena adanya tekanan dari sisi supply
(cost push inflation), dari sisi
permintaan (demand pull inflation),
dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat
disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama
negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur
pemerintah (administered price), dan
terjadi negative supply shocks akibat
bencana alam dan terganggunya distribusi.
Faktor
penyebab terjadi demand pull inflation adalah
tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam
konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi outputpotensialnya
atau permintaan total (agregate demand)
lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi
inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam
menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya.
Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari
perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat
menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan
penentuan upah minimum regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum
diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang
dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari komdisi
supply-demand tersebut. Demikian
halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang
meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan
permintaan.
Kestabilan
inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang
pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang
tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi
masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi
akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar
hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang
miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak
stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty)
bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan
bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam
melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi
domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga
menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat
memberikan tekanan pada nilai rupiah.
No comments:
Post a Comment