Translate

Sunday, July 24, 2016

Manajemen Kepemimpinan

Kepemimpinan
A.      Pengertian Kepemimpinan
  Stoner, Freeman,dan Gilbert (1995) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktifitas yg harus dilakukan.
  Griffin (2000) membagi pengertian kepemimpinan menjadi 2 konsep, yaitu:
  1. Sebagai proses, kepemimpinan difokuskan kepada apa yg dilakukan oleh para pemimpin, yaitu proses dimana para pemimpin menggunakan pengaruhnya utk memperjelas tujuan organisasi bagi para pegawai, bawahan, atau yg dipimpinnya, memotivasi mereka utk mencapai tujuan tsb, serta membantu menciptakan budaya produktif  dalam organisasi. 
  1. Kepemimpinan dari sisi atribut, adalah kumpulan karakteristik yg harus dimiliki oleh seorang pemimpin.  Oleh karena itu, pemimpin dpt didefenisikan sbg seseorang yg memiliki kemampuan utk mempengaruhi perilaku orang lain tanpa menggunakan kekuatan, shg orang2 yg dipimpinnya menerima dirinya sbg sosok yg layak memimpin mereka.

B.      Kepemimpinan Meliputi Empat Aspek
  Pengikut (followers): adalah orang2 yg mengikuti para pemimpin atau orang yg diberi perintah atau dipengaruhi oleh pemimpin utk melakukan sesuatu, misalnya pegawai, bawahan, atau pekerja
  Perbedaan kekuasaan (distribution of powers): antara pemimpin dan pengikut ada perbedaan kekuasaan, yg masing-masing tdk dpt tertukar.
  Penggunaan kekuasaan utk memengaruhi (power to influence): yang perlu dipengaruhi oleh para pemimpin dg kekuasaan yg dimilikinya adl perilaku para pegawai agar melakukan tindakan yg mewujudkan tujuan yg telah ditetapkan.
  Nilai yg dibangun (leadership  value): pemimpin perlu mendorong terwujudnya suatu nilai positif yg dpt memberikan perubahan positif kpd semua agt organisasi. Di sini faktor etika, moralitas, dan keteladanan seorang figur pemimpin diperlukan. Pemimpin yg tdk mengindahkan nilai-nilai yg berlaku di masyarakat hanya akan melahirkan perubahan tapi akan mengancam diri/organisasinya di masa yad.
C.      Pendekatan Kepemimpinan
Dikenal 3 pendekatan:
  1. Pendekatan personal (personal traits of leadership approach): adalah melihat seseorang itu dari sudut     1) sebagai pemimpin dan bukan pemimpin (ambisi dan energi, hasrat utk memimpin, kejujuran dan keutuhan, percaya diri dan tegas, kecerdasan dan pengetahuan yg relevan dg pekerjaan, 2) pemimpin efektif dan tidak efektif (melihat pemimpin bukan dari segi fisik saja, tapi juga dari kemampuannya utk mencapai tujuan organisasi)
  2. Pendekatan perilaku (behavioral approach): melihat pemimpin dari dua aspek kepemimpinan, yaitu 1) dari fungsi-fungsi kepemimpinan (leadership function: fungsi yg terkait dg tugas atau pekerjaan; fungsi yg terkait dg hubungan sosial atau pemeliharaan kelompok); 2) gaya kepemimpinan (leadership styles: yaitu kepemimpinan yg berorientasi pada pekerjaan, dan kepemimpinan yg berorientasi pada pegawai/ orang-orang
  3. Pendekatan kontingensi (contingency approach):
D.      Penelitian Empiris Mengenai Gaya Kepemimpinan (Leadership Style)
·         Penelitian yg dilakukan oleh Universitas Michigan (oleh Rinses Likert th 1940) dan Universitas Ohio menyimpulkan bahwa pendekatan gaya kepemimpinan yg berorientasi kepada orang-orang lebih efektif dari pada yg berorientasi kepada tugas atau pekerjaan.  Dua penelitian  ini mengidentifikasi bahwa para pemimpin yg efektif memiliki bbrp karakteristik al: memberikan dukungan yg sportif kepada orang2; mendorong para pekerja utk terlibat dlm penyusunan dan pencapaian tujuan, dan menekankan pentingnya untuk bekerja secara tim


E.       Gaya Manajemen (Managerial grid) dari Blake dan Mouton
  Penekanan kepada bagaimana para manajer memikirkan mengenai dimensi perilaku pemimpin yang concern dengan aspek produksi dan hubungan kerja dengan manusianya kemudian diurai oleh Robert Blake dan Jane Mouton dalam gambaran grafis dari gaya kepemimpinan melalui kisi-kisi (grid) manajerial (orang-orang yang akomodatif, kebutuhan dan memberi mereka prioritas) pada y-axis dan kepedulian untuk produksi (menjaga jadwal yang ketat) pada x-axis, dengan setiap dimensi mulai dari rendah (1) ke tinggi (9), sehingga menciptakan 81 posisi yang berbeda dimana gaya kepemimpinan mungkin terjadi. (Lihat gambar 1)
  Berbagai kombinasi pada garis X dan Y kemudian diidentifikasi oleh Blake dan Mouton dalam 5 gaya kepemimpinan.
Kelima gaya kepemimpinan yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
  1. Impoverished Management (1, 1): Manajer dengan pendekatan ini sifatnya rendah perhatiannya pada dimensi orang (concern for people) dan orientasi pada tugas (concern for production). Pemimpin memiliki kepedulian yang rendah terhadap kepuasan karyawan dan produksi yang seharusnya dihasilkan oleh organisasi dan menggambarkan adanya ketidakharmonisan dan disorganisasi. Para pemimpin di titik ini bisa dikatakan tidak efektif dimana tindakan mereka hanya ditujukan untuk melestarikan jabatan dan senioritas.
  2. Task management (9, 1): Juga disebut gaya diktator atau membinasakan. Berikut pemimpin lebih peduli tentang produksi dan memiliki kepedulian yang minim bagi orang-orang. Gaya ini didasarkan pada teori X dari McGregor. Kebutuhan karyawan tidak diperhatikan dan mereka hanyalah sebuah sarana untuk mencapai tujuan. Pemimpin percaya efisiensi dapat dihasilkan hanya melalui organisasi yang tepat dari sistem kerja dan mengeliminir keterlibatan orang sedapat mungkin. Gaya ini dengan sendirinya meningkatkan output dari organisasi dalam jangka pendek namun karena kebijakan dan prosedur yang ketat, maka perputaran tenaga kerja yang tinggi tidak bisa dihindari.
  3. Middle-of-the-Road (5, 5): Ini pada dasarnya adalah gaya mengorbankan dimana pemimpin mencoba untuk menjaga keseimbangan antara tujuan perusahaan dan kebutuhan manusianya. Pemimpin tidak mendorong batas-batas pencapaian menghasilkan kinerja rata-rata untuk organisasi. Pada titik ini kebutuhan karyawan dan produksi sepenuhnya tidak terpenuhi.
  4. Country Club (1, 9): Ini adalah gaya kolegial ditandai perhatian terhadap tugas yang rendah dan tinggi terhadap orientasi orang dimana pemimpin berusaha menciptakan suasana lingkungan yang semua orang bekerja dengan rileks, bersahabat, dan bahagia bekerja dalam organisasinya. Dalam suasana seperti ini tidak ada satu orang pun yang mau memikirkan tentang usaha-usaha koordinasi guna mencapai tujuan organisasi. Namun, fokus pada tugas-tugas yang rendah dapat menghambat produksi dan menyebabkan hasil dipertanyakan.
  5. Team Management (9, 9): Ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap orang-orang dan fokus pada tugas, gaya ini didasarkan pada teori Y McGregor yang berasumsi bahwa orang akan menghasilkan sesuatu apabila mereka memperoleh kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang berarti. Selain itu, dalam gaya kepemimpinan team management terdapat kesepkatan untuk melibatkan anggota organisasi dalam pengambilan keputusan dengan maksud mempergunakan kemampuan mereka untuk memperoleh hasil yang terbaik yang mungkin dapat dicapai dan gaya ini yang paling efektif menurut Blake dan Mouton. Pemimpin merasa bahwa pemberdayaan, komitmen, kepercayaan, dan rasa hormat merupakan elemen kunci dalam menciptakan suasana tim yang secara otomatis akan menghasilkan kepuasan karyawan dan produksi yang tinggi.
F.       Pendekatan Kontingensi Mengenai Kepemimpinan
  Pendekatan kontingensi adalah pendekatan kepemimpinan dengan mempertimbangkan situasi yang dihadapi.
  Terdapat beberapa model  mengenai pendekatan kontingensi, yaitu:
  1. Model kepemimpinan situasional dari Hersey-Blanchard
  2. Model LPC dari Fiedler
  3. Model Jalan Tujuan dari Evan-House
G.     Model Kepemimpinan Situasional:Model Hersey-Blanchard
  Model ini menjelaskan bhw para manajer perlu menyesuaikan gaya kepemimpinan sbg respon thd bbg karakter dari oragng2 yg menjadi bawahannya seperti harapan para pekerja, pengalaman, keahlian, dan kesanggupan dlm menerima tanggung jawab.
  Berdasarkan model tsb gaya kepemimpinan dpt dibagi empat kuandran:
  1. Kuadran I: tuntutan tugas tinggi, hubungan antar manusia rendah (high task, low relationship), di sini dibutuhkan pemimpin yg lebih berorientasi kepada pekerjaan.  Karena pd situasi ini pekerjaan lebih penting utk dikerjakan dari pada membangun relasi dengan orang2.
  2. Kuadran II: tuntutan tugas tinggi, hubungan antar manusia juga tinggi (high task, high relationship), di sini dibutuhkan gaya kepemimpinan demokratis dan berorientasi pada kemajuan dan perubahan.
  3. Kuadan III: tuntutan tugas rendah, hubungan antar manusia tinggi (low task and high relationship), di sini pemimpin harus benar-benar memperhatikan aspek relasi antar manusia, dimana pendekatan manajemen partisipatif dapat dilakukan.
  4. Kuadran IV: tuntutan tugas rendah, hubungan antar manusia rendah (low task and low relationship), di sini manajer perlu bekerja keras untuk memotivasi para pekerja sekaligus memberikan panduan mengenai apa yg seharusnya mereka lakukan.  Laissez Faire Management Style (bekerja secara bebas) akan berbahaya jika diterapkan di sini, karena akan menyebabkan organisasi tidak berjalan.  


H.     Model Kepemimpinan Situasional: Model LPC
  Model ini diperkenalkan oleh Fred Fiedler.  LPC adalah singkatan dari Least Preferred Coworker, dimana pemimpin atau manajer perlu mengidentifikasi gaya kepemimpinan manakah yg paling cocok untuk diimplementasikan yg sesuai dg kondisi minimum pekerja yg dihadapi. 
  Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi, dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah a) hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), b) struktur tugas (the task structure) dan c) kekuatan posisi (position power).
I.        Pendekatan Kepemimpinan: Lanjutan Pendekatan Kontingensi
a)      Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
b)      Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.
c)       Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).
J.        Model Kepemimpinan LPC dari Fiedler
·         Model ini diperkenalkan oleh Fred Fiedler.  LPC adalah singkatan dari Least Preferred Coworker, dimana pemimpin atau manajer perlu mengidentifikasi gaya kepemimpinan manakah yg paling cocok untuk diimplementasikan yg sesuai dg kondisi minimum pekerja yg dihadapi. 
·         Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi, dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah a) hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), b) struktur tugas (the task structure) dan c) kekuatan posisi (position power).
a)      Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
b)      Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.
c)       Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).


K.      Model Jalan Tujuan (Path Goal Theory)
  Seorang pemimpin yang efektif menurut model ini adalah pemimpin yang mampu menunjukkan jalan yang dapat ditempuh bawahan. Salah satu mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut yaitu kejelasan tugas yang harus dilakukan bawahan dan perhatian pemimpin kepada kepentingan dan kebutuhan bawahannya. Perilaku pemimpin berkaitan dengan hal tersebut harus merupakan faktor motivasional bagi bawahannya.
  Model ini diperkenalkan oleh Martin G. Evans dan Robert J. House
  Model ini menjelaskan sekalipun gaya kepemimpinan perlu disesuaikan dengan situasi yang dihadapi, akan tetapi pemimpin harus:
  1. Menentukan tujuan atau rewards yg diharapkan oleh para pekerja)
  2. Menentukan jalan-jalan (path) yg perlu dilakukan oleh pekerja untuk meraih tujuan tersebut.
  Ada 2 hal yg perlu diperhatikan pada model jalan tujuan ini, yaitu: 1) perilaku pemimpin (leader behavior); 2) faktor situasi (situational factor)
  Dalam hal perilaku pemimpin, paling tdk ada 4 tipe pemimpin:
  1. Pemimpin direktif: pemimpin yg cenderung utk menentukan apa yg hrs dilakukan bawahan & apa yg diharapkan pemimpin.
  2. Pemimpin suportif: pemimpin yg cenderung bersahabat & mudah diajak berdialog oleh siapapun memberikan perhatian penuh pd kesejahteraan bawahan & memperlakukan agt secara setara.
  3. Pemimpin partisipatif: pemimpin yg cenderung utk memberikan konsultasi kpd bawahan, mengakomodasi bbg masukan & melibatkan bawahan dlm mengambil keputusan.
  4. Pemimpin prestatif: pemimpin yg memiliki visi perubahan dan standar yg tinggi akan produktivitas, memberikan dorongan kpd bawahan utk berprestasi dan memotivasi kemampuan bawahan dlm melakukan bbg pekerjaan.
Dalam hal faktor situasi, ada 2 hal yg perlu dipertimbangkan oleh pemimpin:
  1. Faktor Personal: pemimpin perlu memperhatikan latar belakang, karakteristik, serta kemampuan dari setiap individu yg dipimpinnya. Bagi pekerja yg baru mungkin perlu pendekatan direktif, bagi yg telah mampu bekerja perlu pendekatan partisipatif.
  2. Faktor Lingkungan: ruang lingkup situasinya adalah segala sesuatu yg berada di luar kontrol individu, termasuk struktur pekerjaan. Misalnya deskripsi jabatan jelas, jadwal kerja jelas, target yg akan dicapai jelas, maka kepemimpinan direktif tdk begitu diperlukan.  Sebaliknya jika struktur pekerjaan tdk jelas, diperlukan kepemimpinan direktif.







Manajemen Motivasi

Motivasi
A.      Pengertian Dasar Motivasi
  French dan Raven dalam Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995) mendefinisikan: Motivasi adalah sesuatu yg mendorong seseorang untuk menunjukkan perilaku tertentu.
  Kinerja terbaik menurut Griffin (2000) ditentukan oleh 3 faktor:
  1. Motivasi, yaitu terkait dg keinginan utk melakukan pekerjaan
  2. Kemampuan (ability) yaitu kapabilitas dari tenaga kerja atau SDM untuk melakukan pekerjaan
  3. Lingkungan pekerjaan yaitu sumber daya dan situasi yg dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tsb
B.      Proses Motivasi Tidak Dapat Diukur dan Tidak Kasat Mata


C.      Beberapa Pendekatan Mengenai Motivasi
Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995) menyatakan ada 3 pendekatan:
  Pendekatan tradisionil: pendekatan ini memandang bhw pada dasarnya manajer memiliki kinerja yg lebih baik dari pekerja, dan para pekerja hanya akan menunjukkan kinerja yg baik sekiranya diiming-imingi dg kompensasi uang.  Human are motivated solely by money (Stoner, Freeman, dan Gilbert, 1995). Karena itu pendekatan tradisionil melahirkan adanya pemberian insentif.
  Pendekatan Relasi Manusia: pendekatan ini pada dasarnya menunjukkan bahwa relasi antar manusia akan membantu dan memelihara motivasi karyawan.   Karena jika karyawan melakukan pekerjaan yg sama terus menerus akan menimbulkan kebosanan yg menyebabkan motivasi menurun.
   Pendekatan Sumber Daya Manusia: Manusia dapat dikategorikan pada dua kategori yaitu tipe-x dan tipe-y. SDM yg bertipe x memiliki kecenderungan sbg orang yg malas utk bekerja, dan hanya akan bekerja jika dipaksa utk bekerja.  SDM yg bertipe y cenderung menyukai pekerjaan dan bersifat aktif dlm pekerjaan, sangat berinisiatif, kreatif dan sangat menyukai berbagai tantangan dlm pekerjaan.  Untuk menciptakan suasana spt ini para manajer perlu menerapkan pendekatan manajemen MBO (Management By Objective).
D.      Perspektif Kebutuhan Mengenai Motivasi


E.       Teori ERG dari Clayton Alderfer
  ERG merupakan singkatan dari Existence, Relatedness, dan Growth.  Teori ini diperkenalkan oleh Clayton Alderfer. 
  Teori ERG prinsipnya sama dg teori Maslow.  Tetapi perbedaannya ada 2:
  1. Alderfer hanya membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi kebutuhan : 1) existence (kebutuhan mendasar manusia untuk bertahan hidup seperti kebutuhan fisik dan keamanan dari Maslow);  2) kebutuhan relatedness atau kebutuhan untuk melakukan berintegrasi dengan sesama; 3) kebutuhan Growth atau kebutuhan utk menyalurkan kreativitas  dan bersikap produktif.
  1. Perbedaan ke dua adalah bahwa Alderfer cenderung berpandangan bahwa kebutuhan seseorang, sekalipun bersifat hierarkis, akan tetapi bersifat tidak tetap, artinya jika kebutuhan seseorang sdh mencapai relatedness setelah sebelumnya kebutuhan existence-nya terpenuhi, maka ada kemungkinan seseorang tsb akan membutuhkan kembali kebutuhan  existence.  Dmk juga jika kebutuhan Growth telah tercapai tdk berarti bhw org tsb tdk membutuhkan kembali kebutuhan relatedness dan Growth.  Berbeda dg Maslow yg cenderung berpendapat bhw bila kebutuhan di tk atasnya telah terpenuhi, maka kebutuhan di bawahnya tdk dibutuhkan lagi.


F.       Tiga Kebutuhan dari Atkinson dan McClelland
Menurut Atkinson dan McCleland terdapat 3 jenis kebutuhan yg mendorong seseorang utk termotivasi dan dlm berperilaku dan melakukan sesuatu:
  Kebutuhan untuk berprestasi: seseorang yg memiliki kebutuhan berprestasi tinggi memiliki karakteristik sbg seorang yg menyukai pekerjaan yg menantang, berisiko, serta menyukai adanya tanggapan atas yg dikerjakannya.
  Kebutuhan untuk berafiliasi: meskipun interaksi skr sdh bisa dilakukan dg mudah dg adanya teknologi tinggi, tetapi kenyataannya manusia masih tetap ingin berinteraksi sosial, bertemu muka, bergaul dll, tdk berkomunikasi hanya melulu menggunakan perangkat teknologi komunikasi yg ada.
  Kebutuhan akan kekuasaan: kebutuhan ini  terkait dg tingkatan dari seseorang dlmmelakukan kontrol atas situasi dan lingkungan yg dihadapinya.


G.     Teori Dua Faktor dari Herzberg
Teori ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg tahun 1950an atas hasil penelitiannya pada 200 orang insinyur dan akuntan:
  Motivating Factors (faktor pendorong pada kepuasan dlm pekerjaan): adalah bbg kebutuhan yg tdp pd seseorang yg menuntut utk terpenuhi, shg jika terpenuhi akan mendorong tercapainya kepuasan seseorang dlm pekerjaan dan dia termotivasi utk terus menunjukkan kinerja yg baik. Yg termasuk motivating factors adalah: kesempatan utk berprestasi (achievement); adanya pengakuan dlm lingkungan pekerjaan (recognition); adanya kesempatan utk bertanggung jawab (responsibility); adanya kesempatan utk berkembang dan mengembangkan diri (advancement and growth).
  Hygiene Factors (faktor pendorong kepada ketidakpuasan dalam pekerjaan): jika kebutuhan akan kondisi lingkungan yg diinginkan tdk terpenuhi, maka seseorang tsb merasa tdk puas dg lingkungan pekerjaan.  Termasuk dlm faktor ini adalah: kebutuhan akan kebijakan dan administrasi perusahaan yg jelas dan adil (company policy and administration); adanya supervisi yg memadai (supervision); keserasian hubungan dg supervisi (relationship with supervision); kondisi pekerjaan yg kondusif (working condition); gaji atau upah yg layak (salary); hubungan yg baik antar pekerja (relationship with peers); adanya penghargaan atas kehidupan pribadi (personal life); hubungan yg serasi dg bawahan (relationship with subordinates); adanya kejelasan akan status pekerjaan (job status); masa depan dari pekerjaan yg dijalani (job safety).
H.     Konsep Dasar Mengenai Perspekstif  Pengharapan
Ada 3 model terhadap pengharapan, yaitu:
  Pengharapan terhadap hasil:  setiap orang tentu memiliki pengharapan thd sesuatu yg diperoleh jika mereka menunjukkan perilaku tertentu.  Misal seseorang yg memperbaiki cara kerjanya tentu berharap sesuatu dari perbaikan tsb.
  Dorongan terhadap motivasi: jika seseorang memiliki perkiraan bahwa kinerja yg baik akan berakibat perolehan yg baik sesuai yg diharapkan, hal tsb akan merupakan dorongan motivasi bagi dirinya.
  Pengharapan akan usaha yang perlu dilakukan: Jika seseorang mengetahui akan memperoleh balasan yg wajar dari apa yg dia lakukan, hal itu akan memotivasinya utk melakukan hal tsb.
I.Penghargaan Intrinsik dan Ekstrinsik
Ada dua jenis penghargaan yg menjadi salah satu dasar dalam melakukan manajemen SDM, yaitu:
  Penghargaan intrinsik adalah sesuatu yg dirasakan langsung oleh diri seseorang ketika dirinya melakukan sesuatu. Misal kepuasan dalam melakukan sesuatu, rasa plong telah melakukan sesuatu, meningkatnya kepercayaan diri, dll.
  Penghargaan ekstrinsik adalah sesuatu yg akan diterima oleh seseorang di tempatnya bekerja dimana perolehan tsb adalah sesuai dg harapannya. Misalnya bonus, pujian, promosi, dll.


J.        Tugas Para Manajer
  Menentukan penghargaan2 yg sebenarnya diharapkan oleh SDM dlm organisasi.
  Menentukan kinerja yg diharapkan utk mencapai tujuan organisasi dan tingkat kinerja yg diharapkan oleh manajer utk setiap SDM agar bisa memperoleh penghargaan.
  Penentuan tingkat kinerja yg wajar.
   Penyelarasan kinerja dg penghargaan.
  Analisis berbagai faktor yg mempengaruhi keefektifan pemberian penghargaan.
  Kepastian akan tk penghargaan yg wajar atau memadai bagi pegawai.
K.      Perspektif Penguatan Mengenai Motivasi
  BF Skinner seorang psikolog menjelaskan bahwa tindakan yg akan dilakukan oleh seorang pegawai akan sangat dipengaruhi oleh perlakuan yg diterimanya akibat perilaku yg diterimanya di masa lalu.


L.       Modifikasi Perilaku
Di antara hal yg dpt dilakukan oleh para manajer adalah melakukan modifikasi perilaku (behavior modification).  Ada 4 jenis modifikasi perilaku yg dpt dilakukan:
  Penguatan Positif (positive reinforcement): dilakukan dg memberikan perlakuan positif (pujian, bonus, dll)
  Pembelajaran melalui penghindaran thd sesuatu (avoidance learning): dilakukan dg memberikan tindakan yg adil thd kesalahan pegawai, misal pemotongan gaji bagi yg terlambat, dll.
  Pengecualian atau peniadaan (extinction): meniadakan kebijakan yg pernah ditentukan setelah dievaluasi ternyata kebijakan tsb memberikan efek negatif pd sebagian pegawai.
  Hukuman (punishment): Memberikan hukuman kepada pegawai yg melakukan pelanggaran aturan, misal surat teguran, pemotongan gaji, penurunan pangkat, dll
M.    Perspektif Penyusunan Tujuan (goal setting theory)
  Perspektif dari sudut kognitif adalah sudut pandang manusia dalam memilih opini, kepercayaan, dan lain-lain.  Dalam menentukan tujuan, sebaiknya para pegawai diajak ikut serta. 
  Ada 4 fase yg harus dilakukan oleh manajer sehubungan dg penyusunan tujuan, yaitu:
  1. Penentuan tujuan atau target yg akan dicapai
  2. Penentuan apakah tujuan atau target tsb realistis atau memungkinkan utk dicapai
  3. Mempertimbangkan dan menentukan kesesuaian tujuan dan target tsb dg target tujuan individu dlm organisasi
  4. Jika tujuan organisasi sdh selaras dg tujuan individu, maka individu akan termotivasi utk mencapai tujuan tsb dg menunjukkan perilaku dan kinerja yg diharapkan.






Manajemen Faktor Individu dalam Organisasi

Faktor Individu dalam Organisasi
A.      Kontribusi dan Kompensasi



B.      Faktor Individu dalam Organisasi
Ada 3 hal yang perlu dipahami:
  Kontrak Psikologis (psychological contract): adalah kesepakatan yg tdk tertulis yg muncul ketika seseorang bergabung dlm sebuah organisasi atau ketika tenaga kerja bergabung dlm sebuah perusahaan.  Kontrak psikologis biasanya menyangkut harapan-harapan yg berhubungan dengan kontribusi dan kompensasi.
  Kesesuaian Tenaga Kerja yang Dibutuhkan Perusahaan (the person-job fit): walaupun seleksi utk mendapatkan tenaga kerja yg sesuai dilakukan dg ketat, tetapi kadang2 tdk menghasilkan sesuai harapan.  Hal ini terutama karena menyangkut faktor manusia yg tdk sempurna.
  Keragaman Individu dalam Organisasi (the individual differences in organization): perusahaan perlu memahami keragaman individu secara terbuka, karena manusia ditakdirkan tidak sama, baik dari sisi latar belakang biologisnya, pendidikan, dll.  Karenanya perusahaan harus mengelola keragaman tsb menjadi potensi yg positif bagi produktivitas perusahaan, dan bukan sebagai sumber konflik.
C.      Perilaku dan Kepribadian Individu
  Seorang manajer diharapkan dapat memahami perilaku dan kepribadian dari setiap individu yg dipimpinnya agar dapat mengetahui cara terbaik menghadapinya.
  Griffin (2000) menjelaskan Model Lima Dimensi Mengenai Kepribadian, yaitu:
  1. Tingkat persetujuan (agreeableness)
  2. Tingkat kesadaran dan keseriusan (conscientiousness)
  3. Tingkat emosi neurotisme
  4. Tingkat keleluasan dalam berinteraksi (extraversion)
  5. Tingkat keterbukaan (openness).
·         Agreableness: Individu yang berdimensi Agreableness ini cenderung lebih patuh dengan individu lainnya dan memiliki kepribadian yang ingin menghindari konfilk. Karakteristik Positif-nya adalah kooperatif (dapat bekerjasama), penuh kepercayaan, bersifat baik, hangat dan berhati lembut serta suka membantu.
·         Karakteristik kebalikan dari sifat “Agreeableness” adalah mereka yang tidak mudah bersepakat dengan individu lain karena suka menentang, bersifat dingin dan tidak ramah.
·         Conscientiousness : Individu yang memiliki Dimensi Kepribadian Conscientiousness ini cenderung lebih berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan ataupun penuh pertimbangan dalam mengambil sebuah keputusan, mereka juga memiliki disiplin diri yang tinggi dan dapat dipercaya. Karakteristik Positif pada dimensi  adalah dapat diandalkan, bertanggung jawab, tekun dan berorientasi pada pencapain.
·         Sifat kebalikan dari Conscientiousness adalah individu yang cendurung kurang bertanggung jawab, terburu-buru, tidak teratur dan kurang dapat diandalkan dalam melakukan suatu pekerjaan.
·         Neuroticism: adalah dimensi kepribadian yang menilai kemampuan seseorang dalam menahan tekanan atau stress. Karakteristik positif dari Neuroticism disebut dengan Emotional Stability (Stabilitas Emosional), individu dengan emosional yang stabil cenderang tenang saat menghadapi masalah, percaya diri, memiliki pendirian yang teguh.
·         Sedangkan karakteristik kepribadian Neuroticism (karakteristik Negatif) adalah mudah gugup, depresi, tidak percaya diri dan mudah berubah pikiran.
·         Extraversion: Dimensi Kepribadian Extraversion ini berkaitan dengan tingkat kenyamanan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Karakteristik Positif Individu Extraversion adalah  senang bergaul, mudah bersosialisasi, hidup berkelompok dan tegas.
·         Sebaliknya, Individu yang Introversion (Kebalikan dari Extraversion) adalah mereka yang pemalu, suka menyendiri, penakut dan pendiam.
·         Opennes to Experience: Dimensi Kepribadian Opennes to Experience ini mengelompokan individu berdasarkan ketertarikannya terhadap hal-hal baru dan keinginan untuk mengetahui serta mempelajari sesuatu yang baru. Karakteristik positif pada Individu yang memiliki dimensi ini cenderung lebih kreatif, Imajinatif, Intelektual, penasaran dan berpikiran luas.
·         Sifat kebalikan dari “Openness to Experience” ini adalah individu yang cenderung konvensional dan nyaman terhadap hal-hal yang telah ada serta akan menimbulkan kegelisahan jika diberikan tugas-tugas baru.
D.      Perilaku Individu Lainnya yang mempengaruhi Organisasi
Beberapa perilaku individu lainnya selain lima dimensi kepribadian yg diuraikan di muka, adalah:
  Locus of Control: Locus of Control atau lokus pengendalian yang merupakan kendali individu atas pekerjaan mereka dan kepercayaan mereka terhadap keberhasilan diri. Lokus pengendalian ini terbagi menjadi dua yaitu lokus pengendalian internal yang mencirikan seseorang memiliki keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas perilaku kerja mereka di organisasi. Lokus pengendalian eksternal yang mencirikan individu yang mempercayai bahwa perilaku kerja dan keberhasilan tugas mereka lebih dikarenakan faktor di luar diri yaitu organisasi.
  Self-eficacy: perilaku ini merujuk pada kepercayaan diri dari individu untuk dapat melakukan sesuatu.  Individu yg memiliki self-eficacy yg tinggi adalah individu yg memiliki keyakinan utk mengerjakan berbagai hal, sebaliknya individu yg memiliki self-eficacy rendah adalah individu yg seringkali meragukan kemampuan dirinya utk melakukan berbagai hal. 
  Authoritarianism: perilaku ini merujuk pd keyakinan individu akan peran tingkatan hierarki dlm satu organisasi dan kaitannya dg kekuasaan dlm organisasi.  Individu yg tk authoritarianism nya tinggi beranggapan bhw jika perintah atau keputusan telah dikeluarkan dari hierarki yg lebih tinggi, maka tdk ada alasan utk menolaknya.  Sebaliknya individu dg tk authoritarianism yg rendah beranggapan bhw kebenaran tdk selalu muncul berdasarkan tk hierarki dlm sebuah organisasi, shg yg datang dari atas tdk serta merta harus diikuti.
  Machiavellianism:Seorang individu yang macheavelianisme nya tinggi adalah pragmatis, menjaga jarak emosional, dan yakin tujuan dapat menghalalkan segala cara..Orang-orang yang macheavelianisme nya tinggi sering melakukan manipulasi , lebih suka menang, kurang bisa dibujuk, dan membujuk lebih banyak orang lain dibandingkan dengan orang-orang yang macheavelianisme rendah.  Oleh karena itu, orang-orang yang macheavelianisme tinggi sangat cocok ditempatka pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tawar-menawar atau yang menawarkan imbalan besar untuk menang. Orang-orang yg macheavelianisme tinggi adalah orang yg tinggi rasionalitasnya, rendah tk loyalitas dan persahabatan, serta menyukai utk melakukan kontrol thd orang lain.  Orang-orang yg macheavelianisme rendah cenderung memiliki tk emosional yg tinggi, rasionalitas yg rendah, menghargai persahabatan dan loyalitas, serta kurang menyukai utk mengontrol orang lain.
  Self-esteem: perilaku ini merujuk kpd sbh keyakinan dari seseorang atau individu bhw dirinya layak utk mendapatkan penghargaan.  Individu dg self esteem yg tinggi cenderung berupaya utk mencari posisi yg tinggi dlm sbh organisasi, dan sebaliknya utk yg self-esteem yg rendah.
  Risk propensity: perilaku ini merujuk kpd kecenderungan individu dlm hal pengambilan resiko dan menjawab tantangan.  Individu yg risk propensity nya tinggi adl seorang risk taker atau pengambil resiko.  Individu yg Risk propensity nya rendah adalah seorang yg risk averser atau penghindar resiko.
E.       Perilaku Individu dan Sikap dalam Berorganisasi
Griffin (2000) menjelaskan bahwa sikap memiliki 3 komponen utama, yaitu:
  Komponen Afektif: menyangkut perasaan yg dirasakan oleh seseorang mengenai gagasan, situasi atau lingkungan yg dihadapinya.  Misal:”saya kecewa dg kualitas bahan baku dari PT ABC”
  Komponen Kognitif: menyangkut pengetahuan seseorang mengenai sesuatu yg terkait dg gagasan, situasi maupun lingkungan yg dihadapinya. Misal: “Kualitas bahan baku PT ABC jauh di bawah kualitas bahan baku PT DEF”
  Komponen Intensi: menyangkut harapan dari seseorang sebagai akibat dari gagasan, situasi maupun lingkungan yg dihadapinya.  Misal: “Saya pikir perusahaan tidak perlu lagi membeli bahan baku dari PT ABC”
Ada dua persepsi:
  Persepsi Selektif: proses penyeleksian informasi mengenai sesuatu yg kontradiksi  dan tdk sesuai dg persepsi awal yg kita yakini.  Misal A dikenal sebagai pekerja yg baik.  Suatu ketika kita menemui dia bekerja kurang baik.  Dalam hal ini kita melakukan justifikasi bhw hal tsb adalah bersifat kasuistik semata.
  Stereotip: proses pelabelan thd seseorang berdasarkan suatu kejadian ttt yg dialami atau dilakukan oleh seseorang tsb.  Misalnya penilaian bahwa wanita itu lemah dan lelaki itu kuat.  Penilaian ini tidak selamanya benar.
F.       Perilaku Individu dalam Organisasi: General Adaption Syndrome (GAS)
Perilaku Individu dan Stres:
  Stres pd dasarnya merupakan respon individu thd tekanan yg tinggi dlm pekerjaan.  Tekanan yg tinggi tsb sering disebut stressor.  Stres terjadi seiring dg pengalaman yg dilalui oleh individu yg dinamakan sbg General Adaption Syndrome (GAS).
  Tahap 1: “Alarm” adalah tahap dimana individu mengalami sesuatu yg menyebabkan dirinya memberikan respon yg tdk biasanya.  Pd saat ini tubuh akan memberikan semacam reaksi atas aktivitas yg tdk normal tsb misal stres, panik, dll. Bentuk respon tsb dinamakan sbg alarm.
General Adaption Syndrome (GAS)
  Tahap 2: “Resistance” yaitu tahap dimana individu melakukan penyesuaian diri berupa reaksi atas respons yg dia lakukan pd tahap alarm.  Bentuk penyesuaian diri misalnya berupa tindakan utk menyelesaikan sesuatu, membiarkan sesuatu, atau pengabaian thd sesuatu, dll.
G.     Perilaku Individu dan Stres
Griffin (2000) membagi individu dalam perilakunya thd stres menjadi 2 tipe, yaitu:
  Individu Bertipe A: adalah individu yg bersifat kompetitif dan sangat menyukai pekerjaan dan sangat dapat mengatur pekerjaan dengan waktu yg tersedia sekalipun terbatas.
  Individu Bertipe B: adalah individu yg kurang memiliki sifat kompetitif, dan kurang menyukai pekerjaan serta kurang terampil dlm mengatur pekerjaan dg waktu yg diberikan.

  Tahap 3: “Exhaustion” yaitu tahap dimana individu mengalami indikasi lain sbg akibat dari penyesuaian yg dilakukan pd tahap sebelumnya.  Indikasi ini dpt  lebih baik dri keadaan pd tahap 1 atau 2, atau sebaliknya ketika respon pd tahap 1 dan 2 tdk menyelesaikan masalah yg dialami pertama kali pada tahap 1.
H.     Faktor-faktor Penyebab Stres
  Tuntutan pekerjaan (task demands): berupa tuntutan tugas yg harus diselesaikan, misalnya keputusan yg cepat, keputusan yg kritis, atau kurangnya informasi yg mendukung penyelesaian pekerjaan.
  Tuntutan fisik (physical demands): tekanan akibat keadaan fisik, misal temperatur yg tinggi, kualitas ruangan yg buruk, atau kondisi fisik pekerja yg sedang sakit.
  Tuntutan peran/fungsi (role demands): tekanan akibat adanya ambisi dari individu mengenai sesuatu yg ingin dicapai .
  Tuntutan interpersonal (interpersonal demands): terkait dg adanya tekanan yg muncul dari rekan kerja, kelompok kerja, maupun adanya konflik personal dalam organisasi
I.        Faktor-faktor yg menyebabkan individu menjadi kreatif:
  Pengalaman individu dg kreativitas: yaitu apakah individu2 tsb pernah terlibat dlm kegiatan2 yg menuntutnya utk bertindak kreatif atau tidak pernah.
  Perlakuan terhadap individu:  terkait dg bgm cara manajer misalnya memperlakukan tenaga kerjanya.  Ada yg bersifat hierarkis, topdown, atau sebaliknya.
  Kemampuan kognitif dari individu: ada individu yg cenderung utk memiliki convegent cognitif thinking yaitu terbiasa utk melihat berbagai persamaan dari berbagai perbedaan yg ada.  Orang kreatif memiliki kemampuan di dua jenis cara berpikir  baik divergen maupun convergen.
  Kreativitas Individu dalam Organisasi
J.        Tahap-tahap Munculnya Kreativitas
Paling tidak ada 4 tahap:
  Tahap persiapan: berupa proses pendidikan/pelatihan dan pemberian informasi tertentu kpd individu. 
  Tahap inkubasi:  individu dikondisikan pd kondisi ttt yg memungkinkan dirinya utk mendapatkan gagasan-gagasan baru mengenai sesuatu. 
  Tahap penemuan gagasan: pd tahap ini individu berhasil menemukan gagasan yg mungkin akan memberikan manfaat perubahan bagi organisasi.
  Tahap pengujian: merupakan tahap terakhir utk merealisasikan gagasan mengenai sesuatu.